Perkembangan teknologi nuklir yang pesat di seluruh dunia memicu kekhawatiran terhadap setiap negara akan pengalaman buruk di masa lalu, dimana teknologi nuklir pada era 1940-an digunakan sebagai senjata pemusnah massal. Contoh yang dapat kita lihat dan perhatikan sampai sekarang adalah kota Hiroshima dan Nagasaki yang dibom atom oleh tentara sekutu pada tahun 1945. Oleh karenanya, muncul kesadaran kepada setiap negara pengguna teknologi nuklir untuk menggunakan teknologi nuklir tersebut untuk kedamaian dan kemaslahatan bersama.
Perjanjian nuklir untuk pengembangan teknologi nuklir, yang biasa disebut The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT or NNPT) adalah perjanjian untuk membatasi penggunaan teknologi nuklir pada senjata pemusnah massal.
Perjanjian NPT ini dipelopori oleh Frank Aiken, menteri Luar Negeri Irlandia pada tahun 1958. Perjanjian tersebut ditanda tangani secara terbuka pada tanggal 1 Juli 1968 dan mulai efektif berlaku mulai tanggal 5 Maret 1970 setelah diratifikasi oleh Amerika Serikat, Inggris, Uni Sviet, dan 40 negara lainnya.[4] Peran serta negara maju terhadap perkembangan perjanjian NPT tak kalah penting. Pada tahun 1992, semua Dewan Keamanan PBB telah ikut menandatangani perjanjian NPT. Pada tahun 1995, perjanjian NPT diratifikasi dan kemudian diikuti dengan perjanjian Comprehensive Test Ban pada tahun 1996.
Comprehensive Test Ban merupakan perjanjian pengembangan dari NPT, isinya antara lain berupa larangan penggunaan senjata nuklir baik di darat, di laut maupun di udara dengan batas tidak boleh melebihi nol. Dalam perkembangannya, perjanjian NPT banyak yang menyetujui, namun tidak sedikit pula yang tidak tunduk terhadap perjanjian tersebut. Negara- negara yang tidak berkenan menandatangani perjanjian NPT antara lain : India, Israel, Pakistan, Iran, Afrika Selatan, Korea Utara, dan Libya.
Isi Perjanjian
NPT merupakan sumber kepatuhan perjanjian mengenai penggunaan teknologi nuklir yang mengikat semua negara yang telah menandatanganinya. Perjanjian NPT terdiri dari 11 artikel dengan garis besar mengatur tentang :
Ø Non-proliferasi nuklir;
Ø Perlucutan Senjata Nuklir dan;
Ø Penggunaan nuklir untuk maksud damai.
Secara garis besar, masing-masing point di atas akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Non-proliferasi Nuklir
Hanya lima negara ini yang memiliki senjata nuklir saat perjanjian ini mulai dibuka, dan juga termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States / NWS) ini setuju untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara-negara non-NWS setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir.
Kelima negara NWS telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-NWS, kecuali untuk merespon serangan nuklir atau serangan konvensional yang bersekutu dengan negara NWS. Namun, persetujuan ini belum secara formal dimasukkan dalam perjanjian, dan kepastian-kepastian mengenainya berubah-ubah sepanjang waktu. Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan dapat menggunakan senjata nuklir untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya”. Mantan Menteri Pertahanan Inggris, Geoff Hoon, juga telah menyatakan secara eksplisit mengenai kemungkinan digunakannya senjata nuklir untuk membalas serangan seperti itu. Pada Januari 2006, Presiden Perancis, Jacques Chirac menerangkan bahwa sebuah serangan teroris ke Perancis, jika didalangi oleh sebuah negara, akan memicu pembalasan nuklir (dalam skala kecil) yang diarahkan ke pusat kekuatan “negara-negara berbahaya” tersebut.
2. Perlucutan Senjata Nuklir
Pasal VI dan Pembukaan perjanjian menerangkan bahwa negara-negara NWS berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan mereka. Pasal VI juga menyatakan “…Perjanjian dalam perlucutan umum dan lengkap di bawah kendali Internasional yang tegas dan efektif.” Dalam Pasal I, negara-negara pemilik senjata nuklir (NWS) menyatakan untuk tidak “membujuk negara non-Nuklir manapun untuk…mendapatkan senjata nuklir.” Doktrin serangan pre-emptive dan bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai bujukan / godaan oleh negara-negara non-NWS. Pasal X menyatakan bahwa negara manapun dapat mundur dari perjanjian jika mereka merasakan adanya “hal-hal aneh”, contohnya ancaman, yang memaksa mereka keluar.
3. Penggunaan Nuklir untuk maksud damai
Karena sangat sedikit dari negara-negara NWS dan negara-negara pengguna energi nuklir yang mau benar-benar membuang kepemilikan bahan bakar nuklir, pokok ketiga dari perjanjian ini memberikan negara-negara lainnya kemungkinan untuk melakukan hal yang sama, namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya tidak mungkin mengembangkan senjata nuklir.
Bagi beberapa negara, pokok ketiga perjanjian ini, yang memperbolehkan penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, merupakan sebuah keuntungan. Namun perjanjian ini juga memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian ini juga menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar Internasional diperbolehkan. Pengembangan uranium secara damai dapat dianggap sebagai awal pengembangan hulu ledak nuklir, dan ini dapat dilakukan dengan cara keluar dari NPT. Tidak ada negara yang diketahui telah berhasil mengembangkan senjata nuklir secara rahasia, jika dalam pengawasan NPT.
Negara-negara yang telah menandatangani perjanjian ini sebagai negara non-senjata nuklir dan mempertahankan status tersebut memiliki catatan baik untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Di beberapa wilayah, fakta bahwa negara-negara tetangga bebas dari senjata nuklir mengurangi tekanan bagi negara tersebut untuk mengembangkan senjata nuklir sendiri, biarpun negara tetangga tersebut diketahui memiliki program tenaga nuklir damai yang bisa memicu kecurigaan. Dalam hal ini, perjanjian Non-Proliferasi bekerja sebagaimana mestinya.
Anggota Perjanjian
Hingga saat ini negara yang ikut andil dalam perjanjian NPT berjumlah 187 negara.[4] Negara-negara tersebut mempunyai peran serta untuk ikut mengawasi, melaksanakan, dan membantu mewujudkan penggunaan tekologi nuklir hanya untuk tujuan damai.
Namun dalam perkembangannya, apa yang diharapkan dalam perjanjian NPT tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masih ada beberapa negara yang tidak mau mengakui dan tunduk pada perjanjian NPT. Beberapa negara yang awalnya ikut dalam perjanjian ini, banyak yang mengundurkan diri. Selain itu, beberapa negara anggota NPT masih menyimpan, memiliki, dan mengembangkan senjata nuklir, diantaranya : Amerika Serikat, RRC, Perancis, Rusia, dan Britania Raya. Bahkan, Israel yang tidak mengakui perjanjian NPT diperbolehkan dan dipercayai oleh Amerika Serikat untuk memiliki senjata nuklir, tercatat Israel mempunyai hulu ledak nuklir sebanyak 75-200 buah.[5]
Seiring dengan meredanya stabilitas konflik horisontal antar negara-negara dunia pasca perjanjian NPT, maka perjanjian tersebut mulai memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Dikarenakan tumbuh suburnya model pembangkit tenaga nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian tersebut juga menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar Internasional diperbolehkan.
Akan tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan kepada kelima negara anggota tetap DK PBB, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS).
Walaupun kelima negara NWS tersebut telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara Non-NWS, tetapi tetap saja mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman serangan nuklir. Diperparahnya lagi, Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan senjata nuklirnya untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya” sesuai dengan tafsiran mereka sendiri.
Setidaknya itulah salah satu penyebab mengapa mundurnya Korea Utara dari keanggotaan NPT.[6] Demikian pula dengan India, Pakistan, dan Israel yang sama sekali tidak pernah berpikir untuk ikut bergabung menjadi anggota NPT tersebut. Belum lagi doktrin “pre-emptive attack” yang nyata-nyata bertolak belakang dengan Pasal 2 dan 51 Piagam PBB, akan tetapi selalu dijadikan justifikasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam melancarkan agresi-agresinya selama ini. Sudah pasti apa yang dilakukan oleh sebagian negara NWS akan semakin “menggoda” negara-negara non-NWS untuk berpikir berulang kali guna meninjau keberadaannya sebagai anggota NPT. Hal ini dikarenakan, baik institusi resmi PBB melalui Dewan Keamanannya maupun desakan dunia Internasional, tidak lagi sanggup membendung keganasan sang Paman Sam yang mengklaim dirinya sebagai “polisi dunia”.
Peran serta Indonesia
Dalam perjanjian Non Proliferation Treaty, Indonesia mempunyai peranan sebagai bridge builder untuk menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dalam isu-isu perlucutan senjata dan non-proliferasi. Peran ini dapat dijalankan dengan baik karena adanya pengakuan dari negara-negara anggota PBB atas posisi Indonesia yang dipandang moderat serta komitmen Indonesia yang dianggap tinggi terhadap prinsip-prinsip multilateralisme yang berlaku. Posisi Indonesia ini disadari oleh key players yang ingin melakukan engagement dengan negara-negara berkembang lain yang sering dipandang berhaluan keras.
Indonesia senantiasa mendukung upaya masyarakat Internasional dalam upaya non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir. Dalam hal ini, Indonesia menekankan pentingnya multilateralisme sebagai “core principle” dalam perundingan non-proliferasi dan perlucutan senjata, dan menegaskan bahwa pencapaian tujuan non-proliferasi dan perlucutan senjata perlu ditempuh lewat cara-cara yang “lawful” berdasarkan hukum Internasional yang berlaku dan di bawah kerangka PBB.
Indonesia berpandangan bahwa tiga pilar NPT harus diterapkan secara seimbang, transparan dan komprehensif. Indonesia menganggap bahwa NPT telah mampu mencegah proliferasi horizontal senjata-senjata nuklir, namun belum sepenuhnya berhasil mencegah proliferasi secara vertikal. Oleh karena itu, Indonesia meminta agar seluruh negara pihak pada NPT, termasuk negara-negara nuklir, terikat pada komitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horizontal (non-proliferation in all its aspects).[2]
Mengenai perlucutan senjata, Indonesia selalu menekankan agar negara-negara nuklir memenuhi komitmennya untuk melucuti senjata nuklir mereka sebagai bagian dari implementasi Artikel VI NPT dengan batas waktu yang jelas. Selain itu, Indonesia menginginkan agar proses perlucutan senjata nuklir dilakukan secara dapat diverifikasi (verifiable), tidak dapat dikembalikan (irreversible) dan terbuka (transparent).
Terkait dengan non-proliferasi, Indonesia menginginkan agar universalitas NPT perlu terus menjadi prioritas utama dan mendesak agar negara-negara yang belum menjadi pihak untuk segera mengaksesi NPT sebagai negara non-nuklir. Mengenai pemanfaatan energi nuklir untuk maksud damai, Indonesia menginginkan agar hak setiap negara untuk memanfaatkan energi nuklir untuk maksud damai sebagaimana diatur dalam Artikel IV NPT tetap dihormati.
Dalam menjalankan peranannya, Indonesia selalu berpedoman pada pembukaan UUD 1945 pada alinea 4,”... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...” Selain berperan aktif dalam setiap pertemuan, penandatanganan, pembahasan, dan ratifikasi NPT, Indonesia juga ikut berperan aktif dalam penegakan perjanjian NPT dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut adalah :
Ø UU No. 8 tahun 1978 yang mengatur tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir
Ø UU No. 9 tahun 1997 tentang Pengesahan Treaty on The South East Asia Nuclear Weapon Free Zone.
Ø UU No. 43 tahun 2006 yang mengatur tentang Perizinan Reaktor Nuklir
Ø UU No. 33 tahun 2007 yang mengatur tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan sumber Radioaktif
Ø PP No. 26 tahun 2002 yang mengatur tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif
Ø PP No. 27 tahun 2002 yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
Ø PP No. 29 tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir
Melalui Politik Bebas Aktif yang dianut Indonesia, Indonesia ikut menjaga kestabilan dan perdamaian Internasional dengan melaksanakan prinsip dan komitmen yang terkandung dalam perjanjian NPT, diantaranya : prinsip dan tujuan perlucutan senjata nuklir (decision on principles and objectives for nuclear disarmament)yaitu universalitas (universality), non-proliferasi (non proliferation), perlucutan senjata nuklir (nuclear disarmament), kawasan bebas senjata nuklir(nuclear weapons free zone), pengawasan (safeguards) IAEA danpenggunaan nuklir untuk tujuan damai (peaceful uses of nuclear energy) dalam rangka implementasi traktat.
Indonesia sebagai negara anggota NPT mengharapkan NPT sebagai perjanjian multilateral dapat menjaga stabilitas keamanan Internasional dengan cara mencegah penyebaran senjata nuklir, meningkatkan kerjasama multilateral di bidang perlucutan senjata serta meningkatkan kerja sama Internasional dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.
Pada Konferensi Peninjauan Ulang (Review Conference) tahun 1995 telah dihasilkan tiga keputusan pokok yaitu perpanjangan NPT tanpa batas, upaya untuk memperkuat proses pelaksanaan NPT serta melaksanakan prinsip dan tujuan penyebaran senjata nuklir. Konferensi Peninjauan Ulang tahun 2000 yang dilaksanakan di New York pada 24 April hingga 19 Mei 2000 telah membahas masalah substansial dan prosedural, serta menindaklanjuti keputusan dan resolusi yang telah dihasilkan oleh Konferensi Peninjauan Ulang tahun 1995 serta rekomendasi lainnya yang dihasilkan dalam rangka menegaskan kembali pentingnya kepatuhan setiap negara pihak pada NPT. Demikian pula Konferensi Peninjauan Ulang tahun 2005 telah menegaskan kembali pentingnya kepatuhan dan penguatan terhadap traktat.
Traktat ini juga mengharuskan Negara Bukan Pemilik Senjata Nuklir atau Non-Nuclear Weapon States (NNWS) harus meninggalkan segala kegiatan yang mengarah kepada persenjataan nuklir dan mengharuskan mereka untuk menandatangani perjanjian safeguards IAEA dan menerapkannya dalam seluruh sumber material dan bahan fission khusus di dalam segala kegiatan nuklir untuk damai sesuai Artikel III NPT.
Demikian pula kepada ke lima Negara Pemilik Senjata Nuklir atauNuclear Weapon States (NWS) yaitu China, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat, NPT merekomendasikan agar NWS dengan rasa kesadaran yang tinggi dapat melakukan negosiasi dalam upaya perlucutan senjata nuklir. Sejak berlakunya NPT tampak sekali adanya jangkauan yang sangat berarti terhadap pelaksanaan safeguards IAEA oleh negara-negara peserta NPT.
Indonesia menandatangani NPT pada 2 Maret 1970 dan pada 18 Desember 1978, Indonesia meratifikasi NPT dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1978. Dalam rangka pelaksanaan safeguards sesuai NPT, Indonesia telah menandatangani Agreement Between the Republic of Indonesia and the International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards in Connection with the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons pada 14 Juli 1980. Dengan demikian Indonesia mempunyai kewajiban hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di NPT sekaligus mengijinkan IAEA untuk melakukan verifikasi terhadap pemanfaatan nuklir di Indonesia.
Sumber referensi :
3. http://www.infonuklir.com/ dalam tajuk Safeguards IAEA Dan Perkembangan Penerapannya Dalam Pemanfaatan Nuklir Tujuan Damai (bagian 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar